Top 5 Popular of The Week
-
[News] Bandung – Analyze Press. Kamis (1/5/2014) Hari Buruh Sedunia-May Day, tidak hanya disemarakkan oleh kaum buruh, tani, dan mahasi...
-
Judul : Koalisi Ormas Islam: Ideologi ISIS Bahayakan NKRI Source : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/08/06/n9vq6s-koal...
-
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014 membuat para mahasiswa baru harus was-was. Alasannya, dalam p...
-
[News] Bandung - Analyze Press. Sedikitnya puluhan pemuda yang mengatasnamakan diri mereka Lingkar Ganja Nusantara (LGN) melakukan aksi me...
-
"Demo biarkan saja, paling lama dua minggu setelah itu rakyat menikmati, rakyat itu sangat logis" . Inilah ungkapan yang dilontar...
CB Magazine »
Artikel
»
Skenario di Balik Kenaikan Elpiji 12 Kg
Skenario di Balik Kenaikan Elpiji 12 Kg
Posted by CB Magazine on Rabu, 17 September 2014 |
Artikel
Tepat pada 10 September 2014 kemarin, pukul 00.00 dini hari PT Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga elpiji nonsubsidi ukuran tabung 12 kilogram sebesar Rp 1.500 per kilogram atau Rp 18.000 per tabung. Sebelumnya kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut telah di pastikan dalam rapat koordinasi terbatas yang di pimpin oleh Menko Perekonomian Chairul Tanjung, senin 8 september.
Dalam pertemuan tersebut alasan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg karena harga jual di bawah harga keekonomian (harga dasar). Saat ini, elpiji 12 kg di jual dengan Rp. 6.100 per kg, sementara harga keekonomiannya Rp. 12.100 per kg, selisih harga inilah yang menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dari kenaikan harga elpiji 12 kg ini.
Pertama, meskinpun elpiji 12 kg di peruntukkan untuk masyarakat ekonomi menengah ke atas tetapi kenaikan harga elpiji 12 kg kali ini akan menyusahkan masyarakat pada level ekonomi menegah yang justru mayoritas dibanding ekonomi atas. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, harga kenaikkan elpiji 12 kg yang ditentukan oleh pertamina selalu berbeda dengan apa yang terjadi disetiap pengecer, hal ini di sebabkan pertamina tidak memiliki mekanisme baku untuk menyamakan setiap harga pada tataran pengecer sebagaimana halnya BBM.
Hal itu yang menyebankan pada tingkat pengecer harganya beragam, terbukti dengan pengalaman pada kenaikan 1 januari 2014 kemarin, meskipun kenaikannya Rp. 1.500 per kg , namun di tingkat konsumen rata-rata kenaikannya RP. 3.959 per kg atau 47.508 pertabung. Perbedaan harga itu bisa kita temukan di beberapa daerah misalnya saja Palangkaraya Kalimantan harga elpiji naik Rp. 25.000 pertabung, di Jayapura Papua 21.500 pertabung. Kedua, harga elpiji 12 kg ini akan mengalami kenaikan setiap tahunnya untuk mengejar harga keekonomian yang mencapai Rp. 12.000. Hal itu sebagaimana yang di ungkapan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir yang menyebutkan harga elpiji 12 kg yang dinaikkan kali ini merupakan bagian dari peta jalan kenaikan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya. Hal itu menunjukkan bahwa kenaikan elpiji 12 kg akan terus berlanjut hingga menembus harga dasarnya.
Kedua, kenaikan harga elpiji 12 kg patut di duga kuat merupakan bagian dari skenario upaya menghilangkan subsidi gas elpiji 3 kg. Hal itu bisa dibuktikan dengan skema setelah elpiji 12 kg dinaikkan, maka orang-orang menengah keatasa akan beralih ke elpiji 3 kg karena harganya jauh lebih murah dan lebih hemat hal itu disebabkan elpiji 3 kg mendapatkan subsidi dari pemerintah. Hal itu sudah bisa dibuktikan di beberapa daerah misalnya di Solo Jawa Tengah, kenaikan harga elpiji 12 kg membuat orang beralih menggunakan elpiji 3 kg, tidak hanya di Solo, di Kota Tanggerang Banten, orang-orang pun beralih ke elpiji 3 kg.
Jika orang-orang sudah ramai mencari elpiji 3 kg, maka pembatasan akan dilakukan akibatnya elpiji 3 kg menjadi langka. Setelah itu pemerintah akan melakukan evaluasi subsidi Gas yang membengkak dan tidak tepat sasaran, oleh karena itu harganya harus di naikkan. Inilah skenario yang bisa di lakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan sedkit demi sedkit subsidi pada gas elpiji 3 kg.
Ketiga, Pertamina meskipun merupakan perusahaan negara, tetapi negara ini berpandangan bahwa pertamina adalah perusahaan yang harus hidup sendiri sehingga mereka harus mendapatkan untung dalam setiap transaksinya. Cara pandang seperti ini adalah cari pandang kapitalis, sehingga pertimbangan dalam perusahan itu bukanlah melayani rakyat lagi meskipun itu adalah perusahaan negara, cara pandang mereka mereka harus mendapatkan untung, maka yang terjadi adalah jual beli antara masyarakat dengan penguasa bukan bersifat melayani.
Cara pandang itu bisa kita buktikan dengan tindakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melakukan ekspor gas murah ke beberapa negara, padahal untuk memenuhi kebutuhan gasdalam negeri masih kurang karena sejauh ini kebutuhan negeri ini semakin meningkat. Anehnya lebih dari 40% produksi gas bumi Indonesia diekspor ke luar negeri mulai dari Singapura, Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok, sedangkan di dalam negeri malah di naikkan dengan harga yang mahal.
Dalam sistem kapitalisme yang di anut oleh negara ini, semuanya harus dipandang dari sisi materi dan subsidi adalah kebodohan yang dilakukan oleh negara, sehingga harus dihilangkan karena akan melahirkan orang-orang yang malas untuk bekerja. Inilah konsekuensi yang harus di terima bagi negeri manapun yang mengadopsi sistem kapitalisme.
Dalam pertemuan tersebut alasan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg karena harga jual di bawah harga keekonomian (harga dasar). Saat ini, elpiji 12 kg di jual dengan Rp. 6.100 per kg, sementara harga keekonomiannya Rp. 12.100 per kg, selisih harga inilah yang menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dari kenaikan harga elpiji 12 kg ini.
Pertama, meskinpun elpiji 12 kg di peruntukkan untuk masyarakat ekonomi menengah ke atas tetapi kenaikan harga elpiji 12 kg kali ini akan menyusahkan masyarakat pada level ekonomi menegah yang justru mayoritas dibanding ekonomi atas. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, harga kenaikkan elpiji 12 kg yang ditentukan oleh pertamina selalu berbeda dengan apa yang terjadi disetiap pengecer, hal ini di sebabkan pertamina tidak memiliki mekanisme baku untuk menyamakan setiap harga pada tataran pengecer sebagaimana halnya BBM.
Hal itu yang menyebankan pada tingkat pengecer harganya beragam, terbukti dengan pengalaman pada kenaikan 1 januari 2014 kemarin, meskipun kenaikannya Rp. 1.500 per kg , namun di tingkat konsumen rata-rata kenaikannya RP. 3.959 per kg atau 47.508 pertabung. Perbedaan harga itu bisa kita temukan di beberapa daerah misalnya saja Palangkaraya Kalimantan harga elpiji naik Rp. 25.000 pertabung, di Jayapura Papua 21.500 pertabung. Kedua, harga elpiji 12 kg ini akan mengalami kenaikan setiap tahunnya untuk mengejar harga keekonomian yang mencapai Rp. 12.000. Hal itu sebagaimana yang di ungkapan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir yang menyebutkan harga elpiji 12 kg yang dinaikkan kali ini merupakan bagian dari peta jalan kenaikan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya. Hal itu menunjukkan bahwa kenaikan elpiji 12 kg akan terus berlanjut hingga menembus harga dasarnya.
Kedua, kenaikan harga elpiji 12 kg patut di duga kuat merupakan bagian dari skenario upaya menghilangkan subsidi gas elpiji 3 kg. Hal itu bisa dibuktikan dengan skema setelah elpiji 12 kg dinaikkan, maka orang-orang menengah keatasa akan beralih ke elpiji 3 kg karena harganya jauh lebih murah dan lebih hemat hal itu disebabkan elpiji 3 kg mendapatkan subsidi dari pemerintah. Hal itu sudah bisa dibuktikan di beberapa daerah misalnya di Solo Jawa Tengah, kenaikan harga elpiji 12 kg membuat orang beralih menggunakan elpiji 3 kg, tidak hanya di Solo, di Kota Tanggerang Banten, orang-orang pun beralih ke elpiji 3 kg.
Jika orang-orang sudah ramai mencari elpiji 3 kg, maka pembatasan akan dilakukan akibatnya elpiji 3 kg menjadi langka. Setelah itu pemerintah akan melakukan evaluasi subsidi Gas yang membengkak dan tidak tepat sasaran, oleh karena itu harganya harus di naikkan. Inilah skenario yang bisa di lakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan sedkit demi sedkit subsidi pada gas elpiji 3 kg.
Ketiga, Pertamina meskipun merupakan perusahaan negara, tetapi negara ini berpandangan bahwa pertamina adalah perusahaan yang harus hidup sendiri sehingga mereka harus mendapatkan untung dalam setiap transaksinya. Cara pandang seperti ini adalah cari pandang kapitalis, sehingga pertimbangan dalam perusahan itu bukanlah melayani rakyat lagi meskipun itu adalah perusahaan negara, cara pandang mereka mereka harus mendapatkan untung, maka yang terjadi adalah jual beli antara masyarakat dengan penguasa bukan bersifat melayani.
Cara pandang itu bisa kita buktikan dengan tindakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melakukan ekspor gas murah ke beberapa negara, padahal untuk memenuhi kebutuhan gasdalam negeri masih kurang karena sejauh ini kebutuhan negeri ini semakin meningkat. Anehnya lebih dari 40% produksi gas bumi Indonesia diekspor ke luar negeri mulai dari Singapura, Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok, sedangkan di dalam negeri malah di naikkan dengan harga yang mahal.
Dalam sistem kapitalisme yang di anut oleh negara ini, semuanya harus dipandang dari sisi materi dan subsidi adalah kebodohan yang dilakukan oleh negara, sehingga harus dihilangkan karena akan melahirkan orang-orang yang malas untuk bekerja. Inilah konsekuensi yang harus di terima bagi negeri manapun yang mengadopsi sistem kapitalisme.
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze
Tidak ada komentar: