Top 5 Popular of The Week
-
[News] Bandung – Analyze Press. Kamis (1/5/2014) Hari Buruh Sedunia-May Day, tidak hanya disemarakkan oleh kaum buruh, tani, dan mahasi...
-
Judul : Koalisi Ormas Islam: Ideologi ISIS Bahayakan NKRI Source : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/08/06/n9vq6s-koal...
-
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014 membuat para mahasiswa baru harus was-was. Alasannya, dalam p...
-
[News] Bandung - Analyze Press. Sedikitnya puluhan pemuda yang mengatasnamakan diri mereka Lingkar Ganja Nusantara (LGN) melakukan aksi me...
-
"Demo biarkan saja, paling lama dua minggu setelah itu rakyat menikmati, rakyat itu sangat logis" . Inilah ungkapan yang dilontar...
Artikel
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49 Tahun 2014 membuat para mahasiswa baru harus was-was. Alasannya, dalam pasal 17 peraturan itu disebutkan bahwa masa studi terpakai bagi mahasiswa untuk program sarjana (S1) dan diploma 4 (D4) maksimal 5 tahun, jika tidak mampu menyelesaikan studi selama 5 tahun, maka mahasiswa harus menerima konsekuensi drop out (DO). Dari sisi untuk mengompa semangat mahasiswa untuk belajar lebih giat itu adalah hal yang positif, namun ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dari peratuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Pertama, alasan yang di lontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh bahwa aturan tersebut dibuat agar dapat memaksimalkan kuota atau daya tampung di perguruan tinggi adalah alasan yang di buat-buat dan tidak ada korelasinya. Justru alasan tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya, harusnya jika perguruan tinggi tidak mampu menampung lonjakan pendaftar untuk mahasiswa baru, kementerian pendidikan harusnya membantu perguruan tinggi untuk menyiapkan sarana dan prasarana agar bisa menampung seluruh masyarakat yang ingin kuliah baik itu lahan, gedung, tenaga pendidik yang berkualitas dan lainnya. Setidaknya pemerintah mendirikan sebanyak mungkin perguruan tinggi untuk menampung 100 persen lulusan SLTA tanpa membedakan status sosialnya.
Dari data yang di keluarkan oleh Kemendikbud Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi masih berada di bawah APK jenjang pendidikan lainnya. Tahun 2004, APK perguruan tinggi masih berada di level 14 persen. Artinya, ada 86 persen anak usia 19-23 tahun yang belum menikmati bangku kuliah. Pada Tahun 2012 APK perguruan tinggi naik menjadi 28 persen dan tahun 2014 ini APK di perkirakan tembus pada angka 33 persen. Demikian yang diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, usai menjadi pembicara kunci pada Forum Rektor Indonesia, di Taman Budaya Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah (www.kemdikbud.go.id 01/31/2014). Itu artinya pada tahun 2014 ini saja, masih ada sekitar 67 persen anak yang berusia 19-23 tahun yang tidak menikmati bangku kuliah.
Pada faktanya masyarakat yang tidak melanjutkan kuliah di berbagai perguruan tinggi bukan karena persoalan kuota yang kurang atau tidak ada lagi perguruan tinggi yang bisa menampung jumlah mahasiswa yang ingin kuliah, karena faktanya di berbagai daerah masih banyak perguruan tinggi yang kekurangan mahasiswa. Persoalan utamanya adalah ketidakmampuan masyarakat untuk menjangkau biaya kuliah yang tinggi. Dengan biaya kuliah yang tinggi, masyarakat miskin tidak akan bisa masuk dalam perguruan tinggi yang mereka inginkan. Hal itu sebagaimana juga di ungkapkan sendiri oleh Muhammad Nuh tahun 2011 bahwa ada beberapa faktor siswa setelah lulus SMA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, diantaranya adalah faktor ekonomi, ada yang langsung bekerja, dan ada yang siswi langusng menikah. Oleh karena itulah kemudian Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan memberikan beasiswa kepada siswa yang memiliki potensi akademik yang bagus dan kemampuan ekonomi terbatas (RMOL.co 01/02/2011). Jadi alasan kuota, alasan yang dibuat-buat dan justru menunjukkan ketidakbecusan pemerintahan ini melayani rakyatnya.
Kedua, semangat lain yang bisa kita lihat dari peraturan ini adalah ada upaya untuk mengalihkan perhatian mahasiswa untuk menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Dengan adanya kewajiban menyelesaikan waktu kuliah hanya 5 tahun, maka mahasiswa di paksa untuk fokus mengejar kelulusan tepat waktu sehingga perhatiannya habis untuk belajar (study oriented). Padahal peran lain mahasiswa bukan hanya sekedar belajar, ada status 'social control' dimasyarakat yang mereka harus jalankan guna mengawal dan mengkritik kebijakan pemerintah. Mahasiswa harus bisa tampil sebagai 'penyambung lidah' masyarakat kepada pemerintah, sebagaimana makna yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi atau tiga pilar dasar perguruan tinggi, yang salah satunya menyebutkan pengabdian terhadap masyarakat.
Makna dari pengabdian pada masyarakat sendiri serangkaian aktivitas dalam rangka kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat yang bersiafat konkrit dan langsung dirasakan manfaatnya dalam waktu yang relatif pendek. Aktivitas ini dapat dilakukan atas inisiatif individu atau kelompok anggota civitas akademika perguruan tinggi terhadap masyarakat maupun terhadap inisiatif perguruan tinggi yang bersangkutan yang bersifat nonprofit(Tidak mencari keuntungan). Pengabdian semacam ini membutuhkan perhatian khusus dan keseriusan dari mahasiswa dan perguruan tinggi tempat dimana mereka kuliah.
Mahasiswa Indoensia dalam rentetan sejarahnya memang punya sejarah manis, tidak ada satupun rezim yang bisa dikatakan 'hidup tentang' selama mahasiswa terlibat aktif dalam perpolitikan negeri ini. Fakta menujukkan beberapa rezim telah runtuh disebabkan sedikit banyak oleh pergerakan mahasiswa, hampir disetiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan rakyat, mahasiswalah yang pertama kali muncul untuk menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan tersebut. Hal itu akhirnya membuat setiap rezim untuk berfikir, bagaimana caranya membungkam gerakan-gerakan mahasiswa hari ini?. Dan hal yang paling mudah dilakukan adalah memulai dari memainkan mekanisme peraturan kampus atau perguruan tinggi yang notabene adalah 'rumah' tempat dimana mahasiswa melakukan aktivitasnya.
Kesimpulannya, jika alasan yang di berikan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan sangat tidak masuk akal, maka satu-satunya alasan yang bisa kita lihat dari sisi politisnya adalah aturan ini bagian dari skenario untuk membungkam mahasiswa untuk terlibat aktif mengkritik pemerintah hari ini di setiap kebijakannya yang menyengsarakan rakyat.
Pertama, alasan yang di lontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh bahwa aturan tersebut dibuat agar dapat memaksimalkan kuota atau daya tampung di perguruan tinggi adalah alasan yang di buat-buat dan tidak ada korelasinya. Justru alasan tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya, harusnya jika perguruan tinggi tidak mampu menampung lonjakan pendaftar untuk mahasiswa baru, kementerian pendidikan harusnya membantu perguruan tinggi untuk menyiapkan sarana dan prasarana agar bisa menampung seluruh masyarakat yang ingin kuliah baik itu lahan, gedung, tenaga pendidik yang berkualitas dan lainnya. Setidaknya pemerintah mendirikan sebanyak mungkin perguruan tinggi untuk menampung 100 persen lulusan SLTA tanpa membedakan status sosialnya.
Dari data yang di keluarkan oleh Kemendikbud Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi masih berada di bawah APK jenjang pendidikan lainnya. Tahun 2004, APK perguruan tinggi masih berada di level 14 persen. Artinya, ada 86 persen anak usia 19-23 tahun yang belum menikmati bangku kuliah. Pada Tahun 2012 APK perguruan tinggi naik menjadi 28 persen dan tahun 2014 ini APK di perkirakan tembus pada angka 33 persen. Demikian yang diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, usai menjadi pembicara kunci pada Forum Rektor Indonesia, di Taman Budaya Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah (www.kemdikbud.go.id 01/31/2014). Itu artinya pada tahun 2014 ini saja, masih ada sekitar 67 persen anak yang berusia 19-23 tahun yang tidak menikmati bangku kuliah.
Pada faktanya masyarakat yang tidak melanjutkan kuliah di berbagai perguruan tinggi bukan karena persoalan kuota yang kurang atau tidak ada lagi perguruan tinggi yang bisa menampung jumlah mahasiswa yang ingin kuliah, karena faktanya di berbagai daerah masih banyak perguruan tinggi yang kekurangan mahasiswa. Persoalan utamanya adalah ketidakmampuan masyarakat untuk menjangkau biaya kuliah yang tinggi. Dengan biaya kuliah yang tinggi, masyarakat miskin tidak akan bisa masuk dalam perguruan tinggi yang mereka inginkan. Hal itu sebagaimana juga di ungkapkan sendiri oleh Muhammad Nuh tahun 2011 bahwa ada beberapa faktor siswa setelah lulus SMA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, diantaranya adalah faktor ekonomi, ada yang langsung bekerja, dan ada yang siswi langusng menikah. Oleh karena itulah kemudian Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan memberikan beasiswa kepada siswa yang memiliki potensi akademik yang bagus dan kemampuan ekonomi terbatas (RMOL.co 01/02/2011). Jadi alasan kuota, alasan yang dibuat-buat dan justru menunjukkan ketidakbecusan pemerintahan ini melayani rakyatnya.
Kedua, semangat lain yang bisa kita lihat dari peraturan ini adalah ada upaya untuk mengalihkan perhatian mahasiswa untuk menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Dengan adanya kewajiban menyelesaikan waktu kuliah hanya 5 tahun, maka mahasiswa di paksa untuk fokus mengejar kelulusan tepat waktu sehingga perhatiannya habis untuk belajar (study oriented). Padahal peran lain mahasiswa bukan hanya sekedar belajar, ada status 'social control' dimasyarakat yang mereka harus jalankan guna mengawal dan mengkritik kebijakan pemerintah. Mahasiswa harus bisa tampil sebagai 'penyambung lidah' masyarakat kepada pemerintah, sebagaimana makna yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi atau tiga pilar dasar perguruan tinggi, yang salah satunya menyebutkan pengabdian terhadap masyarakat.
Makna dari pengabdian pada masyarakat sendiri serangkaian aktivitas dalam rangka kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat yang bersiafat konkrit dan langsung dirasakan manfaatnya dalam waktu yang relatif pendek. Aktivitas ini dapat dilakukan atas inisiatif individu atau kelompok anggota civitas akademika perguruan tinggi terhadap masyarakat maupun terhadap inisiatif perguruan tinggi yang bersangkutan yang bersifat nonprofit(Tidak mencari keuntungan). Pengabdian semacam ini membutuhkan perhatian khusus dan keseriusan dari mahasiswa dan perguruan tinggi tempat dimana mereka kuliah.
Mahasiswa Indoensia dalam rentetan sejarahnya memang punya sejarah manis, tidak ada satupun rezim yang bisa dikatakan 'hidup tentang' selama mahasiswa terlibat aktif dalam perpolitikan negeri ini. Fakta menujukkan beberapa rezim telah runtuh disebabkan sedikit banyak oleh pergerakan mahasiswa, hampir disetiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan rakyat, mahasiswalah yang pertama kali muncul untuk menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan tersebut. Hal itu akhirnya membuat setiap rezim untuk berfikir, bagaimana caranya membungkam gerakan-gerakan mahasiswa hari ini?. Dan hal yang paling mudah dilakukan adalah memulai dari memainkan mekanisme peraturan kampus atau perguruan tinggi yang notabene adalah 'rumah' tempat dimana mahasiswa melakukan aktivitasnya.
Kesimpulannya, jika alasan yang di berikan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan sangat tidak masuk akal, maka satu-satunya alasan yang bisa kita lihat dari sisi politisnya adalah aturan ini bagian dari skenario untuk membungkam mahasiswa untuk terlibat aktif mengkritik pemerintah hari ini di setiap kebijakannya yang menyengsarakan rakyat.
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze
Artikel

Ada yang bilang, "jika politisi melempar pernyataan pasti selalu ada masuk yang tersirat di dalam pernyataannya itu". Memandang Jusuf Kalla sebagai seorang poltisi, pernyataan Jusuf kalla tersebut bisa kita lihat dalam beberapa hal:
Pertama, pernyataan JK tersebut menunjukkan posisi Jusuf kalla seperti diatas angin jika dia bersama dengan Jokowi akan mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM, sehingga hal itu bukanlah masalah besar bagi dirinya dan bagi pemerintahannya bersama Jokowi nantinya. karena dari sisi pengalaman menaikkan harga BBM JK mengerti betul kondisional yang akan terjadi jika BBM ini akan di naikkan. hal itu bisa kita liat dari ungkapannya yang lain, JK mengatakan "Mengurangi subsidi itu mudah. Menaikkan (harga) BBM pada harga wajar tidak ada masalah, tahun 2005 kita naikkan dua kail, tidak ada demo," katanya seperti dilansir Tribunnews.
Kedua, pernyataan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap gerakan mahasiswa yang paling getol menolak setiap kali pemerintah ini mengambil kebijakan BBM. Memang betul penolakan itu tidak hanya di lakukan oleh mahasiswa tetapi, mahasiswa adalah salah satu elemen masyarakat yang biasany pertama kali melakukan aksi menolak kebijakan yang bisa menyengsarakan rakyat.
Pernyataan JK sebenarnya tidak salah bahwa setiap ada kebijakan yang di tentang oleh mahasiswa, aksi penolakan itu pasti hanya akan menghitung hari atau paling lama memang seperti yang di ungkapkan oleh JK, hanya sampai 2 minggu. Fakta yang terjadi memang demikian, jika melihat rentetan sejarah rezim SBY menaikkan harga BBM tercatat ada 4 kali SBY menaikan harga BBM dan 1 kali menurunkan harga BMM. Kenaikan harga BBM pertama terjadi pada 1 Maret 2005, kemudian pada 1 Oktober 2005, pada 24 Mei 2008, dan terakhir 2013 kemarin.
Dari semua rentetan sejarah kenaikkan harga BBM ini, aksi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa hanya dilakukan sebelum keputusan untuk mengambil kebijakan tersebut diambil atau di terapkan oleh pemerintah, namun setelah kebijakan itu telah diterapkan, maka gerakan mahasiswa pun ikut bungkam dan terkesan pasrah menerima kebijakan tersebut. Faktor inilah yang membuat JK merasa 'diatas angin' untuk menaikkan harga BBM karena aksi penolakan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Hal inilah yang 'dibaca' oleh JK, sehingga pernyataan JK diatas sebetulnya selaras dengan cerminan kondisi gerakan mahasiswa hari ini.
Gerakan Mahasiswa Perlu Evaluasi
Melakukan aksi demo hanyalah salah satu cara untuk mengekpresikan penolakan terhadap kebijakan pemerintah, yang jauh lebih penting yang harus dilakukan oleh mahasiswa adalah melakukan pencerdasan politik kepada rekan-rekan sesama mereka mahasiswa, tidak hanya itu mereka juga seharunya mencerdaskan masyarakat dan mengungkapkan kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah hari ini yang mengambil kebijakan menyengsarakan masyarakat.
Hal itu penting karena mahasiswa hanya bagian terkecil dari masyarakat, jika mahasiswa bergerak bersama masyarakat dan mendampingi masyarakat dalam melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintah, maka penolakan itu akan semakin kuat. Masyarakatlah yang memilih pemimpin mereka, jika masyarakat cerdas akan politik maka mereka akan menghilangkan legitimasi para pemimpin yang mereka pilih. Selama ini, masyarakat di bodohi oleh pemimpin mereka karena disisi lain memang masyarakat tidak di cerdaskan akan politik.
Kalau pun seandainya pemerintah JK dan Jokowi menaikkan harga BBM nantinya, itu bukanlah masalah besar bagi kita, jika masyrakat itu telah cerdas dan melek politik. Karena pada saat yang sama masyarakat pasti akan mempertanyakan pemimpin mereka hari ini. Apakah mereka berpihak pada masyarakat atau tidak dan apakah pemerintahan itu layak untuk di pertahankan atau tidak? Jika pertanyaan itu sudah ada dalam benak masyarakat, maka rezim manakah yang akan sanggup bertahan jika masyarakat telah menghilangkan legitimasi mereka? Tidak ada satupun yang dapat bertahan!
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze
Artikel
Tepat pada 10 September 2014 kemarin, pukul 00.00 dini hari PT Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga elpiji nonsubsidi ukuran tabung 12 kilogram sebesar Rp 1.500 per kilogram atau Rp 18.000 per tabung. Sebelumnya kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut telah di pastikan dalam rapat koordinasi terbatas yang di pimpin oleh Menko Perekonomian Chairul Tanjung, senin 8 september.
Dalam pertemuan tersebut alasan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg karena harga jual di bawah harga keekonomian (harga dasar). Saat ini, elpiji 12 kg di jual dengan Rp. 6.100 per kg, sementara harga keekonomiannya Rp. 12.100 per kg, selisih harga inilah yang menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dari kenaikan harga elpiji 12 kg ini.
Pertama, meskinpun elpiji 12 kg di peruntukkan untuk masyarakat ekonomi menengah ke atas tetapi kenaikan harga elpiji 12 kg kali ini akan menyusahkan masyarakat pada level ekonomi menegah yang justru mayoritas dibanding ekonomi atas. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, harga kenaikkan elpiji 12 kg yang ditentukan oleh pertamina selalu berbeda dengan apa yang terjadi disetiap pengecer, hal ini di sebabkan pertamina tidak memiliki mekanisme baku untuk menyamakan setiap harga pada tataran pengecer sebagaimana halnya BBM.
Hal itu yang menyebankan pada tingkat pengecer harganya beragam, terbukti dengan pengalaman pada kenaikan 1 januari 2014 kemarin, meskipun kenaikannya Rp. 1.500 per kg , namun di tingkat konsumen rata-rata kenaikannya RP. 3.959 per kg atau 47.508 pertabung. Perbedaan harga itu bisa kita temukan di beberapa daerah misalnya saja Palangkaraya Kalimantan harga elpiji naik Rp. 25.000 pertabung, di Jayapura Papua 21.500 pertabung. Kedua, harga elpiji 12 kg ini akan mengalami kenaikan setiap tahunnya untuk mengejar harga keekonomian yang mencapai Rp. 12.000. Hal itu sebagaimana yang di ungkapan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir yang menyebutkan harga elpiji 12 kg yang dinaikkan kali ini merupakan bagian dari peta jalan kenaikan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya. Hal itu menunjukkan bahwa kenaikan elpiji 12 kg akan terus berlanjut hingga menembus harga dasarnya.
Kedua, kenaikan harga elpiji 12 kg patut di duga kuat merupakan bagian dari skenario upaya menghilangkan subsidi gas elpiji 3 kg. Hal itu bisa dibuktikan dengan skema setelah elpiji 12 kg dinaikkan, maka orang-orang menengah keatasa akan beralih ke elpiji 3 kg karena harganya jauh lebih murah dan lebih hemat hal itu disebabkan elpiji 3 kg mendapatkan subsidi dari pemerintah. Hal itu sudah bisa dibuktikan di beberapa daerah misalnya di Solo Jawa Tengah, kenaikan harga elpiji 12 kg membuat orang beralih menggunakan elpiji 3 kg, tidak hanya di Solo, di Kota Tanggerang Banten, orang-orang pun beralih ke elpiji 3 kg.
Jika orang-orang sudah ramai mencari elpiji 3 kg, maka pembatasan akan dilakukan akibatnya elpiji 3 kg menjadi langka. Setelah itu pemerintah akan melakukan evaluasi subsidi Gas yang membengkak dan tidak tepat sasaran, oleh karena itu harganya harus di naikkan. Inilah skenario yang bisa di lakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan sedkit demi sedkit subsidi pada gas elpiji 3 kg.
Ketiga, Pertamina meskipun merupakan perusahaan negara, tetapi negara ini berpandangan bahwa pertamina adalah perusahaan yang harus hidup sendiri sehingga mereka harus mendapatkan untung dalam setiap transaksinya. Cara pandang seperti ini adalah cari pandang kapitalis, sehingga pertimbangan dalam perusahan itu bukanlah melayani rakyat lagi meskipun itu adalah perusahaan negara, cara pandang mereka mereka harus mendapatkan untung, maka yang terjadi adalah jual beli antara masyarakat dengan penguasa bukan bersifat melayani.
Cara pandang itu bisa kita buktikan dengan tindakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melakukan ekspor gas murah ke beberapa negara, padahal untuk memenuhi kebutuhan gasdalam negeri masih kurang karena sejauh ini kebutuhan negeri ini semakin meningkat. Anehnya lebih dari 40% produksi gas bumi Indonesia diekspor ke luar negeri mulai dari Singapura, Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok, sedangkan di dalam negeri malah di naikkan dengan harga yang mahal.
Dalam sistem kapitalisme yang di anut oleh negara ini, semuanya harus dipandang dari sisi materi dan subsidi adalah kebodohan yang dilakukan oleh negara, sehingga harus dihilangkan karena akan melahirkan orang-orang yang malas untuk bekerja. Inilah konsekuensi yang harus di terima bagi negeri manapun yang mengadopsi sistem kapitalisme.
Dalam pertemuan tersebut alasan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg karena harga jual di bawah harga keekonomian (harga dasar). Saat ini, elpiji 12 kg di jual dengan Rp. 6.100 per kg, sementara harga keekonomiannya Rp. 12.100 per kg, selisih harga inilah yang menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dari kenaikan harga elpiji 12 kg ini.
Pertama, meskinpun elpiji 12 kg di peruntukkan untuk masyarakat ekonomi menengah ke atas tetapi kenaikan harga elpiji 12 kg kali ini akan menyusahkan masyarakat pada level ekonomi menegah yang justru mayoritas dibanding ekonomi atas. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, harga kenaikkan elpiji 12 kg yang ditentukan oleh pertamina selalu berbeda dengan apa yang terjadi disetiap pengecer, hal ini di sebabkan pertamina tidak memiliki mekanisme baku untuk menyamakan setiap harga pada tataran pengecer sebagaimana halnya BBM.
Hal itu yang menyebankan pada tingkat pengecer harganya beragam, terbukti dengan pengalaman pada kenaikan 1 januari 2014 kemarin, meskipun kenaikannya Rp. 1.500 per kg , namun di tingkat konsumen rata-rata kenaikannya RP. 3.959 per kg atau 47.508 pertabung. Perbedaan harga itu bisa kita temukan di beberapa daerah misalnya saja Palangkaraya Kalimantan harga elpiji naik Rp. 25.000 pertabung, di Jayapura Papua 21.500 pertabung. Kedua, harga elpiji 12 kg ini akan mengalami kenaikan setiap tahunnya untuk mengejar harga keekonomian yang mencapai Rp. 12.000. Hal itu sebagaimana yang di ungkapan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir yang menyebutkan harga elpiji 12 kg yang dinaikkan kali ini merupakan bagian dari peta jalan kenaikan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya. Hal itu menunjukkan bahwa kenaikan elpiji 12 kg akan terus berlanjut hingga menembus harga dasarnya.
Kedua, kenaikan harga elpiji 12 kg patut di duga kuat merupakan bagian dari skenario upaya menghilangkan subsidi gas elpiji 3 kg. Hal itu bisa dibuktikan dengan skema setelah elpiji 12 kg dinaikkan, maka orang-orang menengah keatasa akan beralih ke elpiji 3 kg karena harganya jauh lebih murah dan lebih hemat hal itu disebabkan elpiji 3 kg mendapatkan subsidi dari pemerintah. Hal itu sudah bisa dibuktikan di beberapa daerah misalnya di Solo Jawa Tengah, kenaikan harga elpiji 12 kg membuat orang beralih menggunakan elpiji 3 kg, tidak hanya di Solo, di Kota Tanggerang Banten, orang-orang pun beralih ke elpiji 3 kg.
Jika orang-orang sudah ramai mencari elpiji 3 kg, maka pembatasan akan dilakukan akibatnya elpiji 3 kg menjadi langka. Setelah itu pemerintah akan melakukan evaluasi subsidi Gas yang membengkak dan tidak tepat sasaran, oleh karena itu harganya harus di naikkan. Inilah skenario yang bisa di lakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan sedkit demi sedkit subsidi pada gas elpiji 3 kg.
Ketiga, Pertamina meskipun merupakan perusahaan negara, tetapi negara ini berpandangan bahwa pertamina adalah perusahaan yang harus hidup sendiri sehingga mereka harus mendapatkan untung dalam setiap transaksinya. Cara pandang seperti ini adalah cari pandang kapitalis, sehingga pertimbangan dalam perusahan itu bukanlah melayani rakyat lagi meskipun itu adalah perusahaan negara, cara pandang mereka mereka harus mendapatkan untung, maka yang terjadi adalah jual beli antara masyarakat dengan penguasa bukan bersifat melayani.
Cara pandang itu bisa kita buktikan dengan tindakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melakukan ekspor gas murah ke beberapa negara, padahal untuk memenuhi kebutuhan gasdalam negeri masih kurang karena sejauh ini kebutuhan negeri ini semakin meningkat. Anehnya lebih dari 40% produksi gas bumi Indonesia diekspor ke luar negeri mulai dari Singapura, Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok, sedangkan di dalam negeri malah di naikkan dengan harga yang mahal.
Dalam sistem kapitalisme yang di anut oleh negara ini, semuanya harus dipandang dari sisi materi dan subsidi adalah kebodohan yang dilakukan oleh negara, sehingga harus dihilangkan karena akan melahirkan orang-orang yang malas untuk bekerja. Inilah konsekuensi yang harus di terima bagi negeri manapun yang mengadopsi sistem kapitalisme.
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze
Artikel
Munir seorang pejuang HAM tewas akibat zat arsenik pada 7 september 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam untuk studi lanjut Hukum Kemanusiaan Di Universitas Utrecht Belanda. Tewasnya Munir disebabkan operasi Intelejen dengan Agennya Pollycarpus.
Tim Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir Choirul Anam menemukan beberapa fakta terkait rekam jejak dari sosok Pollycarpus.
Pertama, kapasitas Pollycarpus sebagai pilot yang dinilai meragukan, hal itu mengingat Pollycarpus tidak cukup berkemampuan menerbangkan pesawat seperti yang disyaratkan.
Kedua, sebagai pilot juga dikenal pernah mewawancarai sejumlah wartawan saat kerusuhan ditengok masa daerah operasi militer aceh.
Ketiga, Pollycarpus sering bertugas ke Timor Timur dan pernah menjadi narasumber lembaga Intelejen Australia terkait konflik Indonesia-Timor Timur.
Keempat, Pollycarpus merupakan agen spesial karena dalam penelusuran terbukti, dia memiliki senjata.
Kesimpulan sederhananya,
Pertama, seorang agen Intelejen dalam melakukan operasinya akan menyesuaikan karakter diri dan pekerjaannya sesuai dengan kondisi lokasi atau target operasinya. Jika operasinya akan dilakukan di pesawat maka dia akan menjadi pilot atau pramugara atau pramugari.
Kedua, untuk mendapatkan data dan informasi terkait lokasi dan target operasi intelijen, hal yang paling mudah dilakukan adalah berpura-pura menjadi wartawan. Disamping wartawan adalah pihak yang tidak bisa dihalang-halangi untuk mendapatkan informasi dengan alasan keterbukaan publik. Wartawan juga mampu menjadi pilihan yang selalu di butuhkan oleh orang lain untuk mendapatkan informasi.
Ketiga, untuk operasi yang masuk dalam skala besar mungkin tetap membutuhkan intervensi asing, hal itulah yang menyebabkan terkadang menjadi spesial dibanding operasi yang sifatnya berskala kecil.
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze
Tim Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir Choirul Anam menemukan beberapa fakta terkait rekam jejak dari sosok Pollycarpus.
Pertama, kapasitas Pollycarpus sebagai pilot yang dinilai meragukan, hal itu mengingat Pollycarpus tidak cukup berkemampuan menerbangkan pesawat seperti yang disyaratkan.
Kedua, sebagai pilot juga dikenal pernah mewawancarai sejumlah wartawan saat kerusuhan ditengok masa daerah operasi militer aceh.
Ketiga, Pollycarpus sering bertugas ke Timor Timur dan pernah menjadi narasumber lembaga Intelejen Australia terkait konflik Indonesia-Timor Timur.
Keempat, Pollycarpus merupakan agen spesial karena dalam penelusuran terbukti, dia memiliki senjata.
Kesimpulan sederhananya,
Pertama, seorang agen Intelejen dalam melakukan operasinya akan menyesuaikan karakter diri dan pekerjaannya sesuai dengan kondisi lokasi atau target operasinya. Jika operasinya akan dilakukan di pesawat maka dia akan menjadi pilot atau pramugara atau pramugari.
Kedua, untuk mendapatkan data dan informasi terkait lokasi dan target operasi intelijen, hal yang paling mudah dilakukan adalah berpura-pura menjadi wartawan. Disamping wartawan adalah pihak yang tidak bisa dihalang-halangi untuk mendapatkan informasi dengan alasan keterbukaan publik. Wartawan juga mampu menjadi pilihan yang selalu di butuhkan oleh orang lain untuk mendapatkan informasi.
Ketiga, untuk operasi yang masuk dalam skala besar mungkin tetap membutuhkan intervensi asing, hal itulah yang menyebabkan terkadang menjadi spesial dibanding operasi yang sifatnya berskala kecil.
Imaduddin Al Faruq
Muslim Analyze